Selasa, 26 September 2017

Mengenal Tokoh Komunisme Internasional ( Tan Malaka )

Mengenal Tokoh Komunisme Internasional ( Tan Malaka )
Tan Malaka Muda

Siapa Tan Malaka ?

Hello good millennial, jumpa lagi di blogger joeshapictures tema hari ini adalah tentang "Mengenal Tokoh Komunisme Internasional ( Tan Malaka )" penasaran, yuk kita baca !

Tan Malaka adalah Tokoh yang cukup kontroversial baik dikalangan akedemisi, pergerakan, maupun elit politik di Indonesia dan bahkan di beberapa Negara yang pernah dikunjunginya.  Ibrahim gelar datuk Tan malaka atau yang lebih dikenal dengan Tan Malaka adalah salah seorang Putra Minangkabau yang sangat berpengaruh dalam pergerakan di indonesia. Menurut Harry A. Poeze yang bertahun-tahun menghabiskan waktu untuk meneliti sosok dari Tan Malaka. Tan Malaka lahir tahun 1894, disebuah Nagari kecil Pandan Gadang, Suliki, daerah pedalaman Minangkabau, Sumatera Barat. Ia juga merupakan salah satu orang Indonesia pertama yang melanjutkan studinya ke Belanda.

Rumah Tan Malaka di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat. Orang tua dari tan Malaka tergolong kaum Bangsawan lokal, tapi dalam hal kepemilikan dan kedudukan tidak banyak beda dari penduduk sesamanya. Sejalan dengan Garis Matrilineal diminangkabau, ia diwariskan Gelar Adat yang terhormat Datuk Tan Malaka, jadilah namanya Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka. Anak dari pasangan Rasad Chaniago dan Sinah Sinabur ini Sebagian besar hidupnya dihabiskan diluar negeri. Setelah tamat dari Kweekschool Bukit Tinggi pada umur 16 tahun, pada Tahun 1913 Tan Malaka melanjutkan sekolah ke Belanda sebagai Siswa disekolah guru Rijkskweekschool, Haarlem, Belanda. Semasa inilah pemahaman mengenai politiknya mulai berkembang, Tan Malaka tidak bisa menghindar dari situasi politik dimasa itu, ia mulai membaca buku karangan Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Vladimir Lenin. Tan Malaka bertemu Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische Sociaal dari-Democratische Vereeniging (ISDV, pendahulu dari Partai Komunis Indonesia)

Tan Malaka Muda

Setelah enam tahun dibekali pengetahuan politik di Belanda, Pada November 1919  Tan Malaka memutuskan untuk pulang ke Indonesia dengan cita-cita mengubah nasib bangsa Indonesia. Tahun 1921 merupakan awal kiprah Tan Malaka didunia politik, ia bergabung dengan SI ( Serikat Islam ) disemarang bersama Semaun, keduanya sepakat untuk mendirikan sekolah rakyat. Pada masa itu Serikat Islam sedang mengalami perseturuan antara fraksi islam dan komunis, hingga akhirnya partai tersebut terpecah dan Tan Malaka ikut dengan Darsono. Beberapa bulan kemudian Tan keluar dari partai akibat paham yang tidak sejalan.

Pada 2 Maret 1922, Tan Malaka ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda atas tuduhan sebagai dalang pemogokan buruh pelabuhan. Hal tersebut memaksa Tan untuk kembali ke Belanda namun bukan sebagai pelajar melainkan sebagai orang buangan. Oleh kawan-kawannya separtai Tan disambut sebagai martir dari Kolonialisme Belanda, Tan segera diletakkan pada tempat ketiga dalam daftar kaum komunis untuk pemilu anggota tweede Kamer (Parelemen) bulan juli 1922 sebagai calon Indoensia yang pertama. Namun Tan tidak terpilih karena partainya hanya mendapat dua kursi. Disurat kabar Komunis dan brosur berbahasa indonesia Tan Malaka menulis panjang lebar tentang Pengasingannya.

Perjalanan Tan Malaka

Dari Belanda Tan melakukan perjalanan ke Moskow, disana Tan Malaka Tampil sebagai wakil Indonesia  pada kongres Komintern bulan November 1922. Dalam kongres ini Tan Malaka menyampaikan pidato yang sia-sia karena mengajukan masalah kerja sama antara komunisme dengan panislamisme, dan pendapatnya itu tidak diakui sebagai berpotensi revolusioner. Komintern memberikan tugas baru kepada Tan Malaka dalam tahun 1923 yaitu, sebagai wakil komintern untuk Asia Tenggara dengan kewenangan yang luas sepanjang tentang urusan partai, kelompok, dan Tokoh-tokoh dikawasan itu. Sebagai basis Tan memilih Kanton,Cina.

Dari jarak jauh, Tan Malaka juga ikut campur dalam urusan perkembangan PKI di Indonesia. Tahun 1925 di kanton, Cina, Tan Malaka menulis buku yang memuat konsep republik yang berjudul Naar de 'Republiek Indonesia' ( Menuju Republik Indonesia ), karena buku itulah Tan Malaka mendapat gelar Bapak Republik Indonesia. Tan Malaka lah orang pertama yang menulis konsep republik untuk Indonesia jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928),dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).

Awal tahun 1926, disalah satu daerah di Singapura Tan Malaka menulis buku yang berjudul “Massa Actie”. Buku Naar de Republiek dan Massa Actie yang ditulis dari tanah pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie. Waktu itu Bung Karno memimpin Klub Debat Bandung. Salah satu tuduhan yang memberatkan Soekarno ketika diadili di Landrat Bandung pada 1931 juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh jika isi buku itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya, Indonesia Menggugat.

W.R. Supratman pun telah membaca habis Massa Actie. Ia memasukkan kalimat "Indonesia tanah tumpah darahku" ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk "Khayal Seorang Revolusioner". Di situ Tan antara lain menulis, "Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri.... Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya."

Pada tahun 1942 Tan Malaka kembali ke Indonesia untuk melanjutkan perjuangannya. Diseputar Proklamasi Tan menorehkan perannya yang penting. Menurut Harry A. Poeze, Tan Malaka lah orang dibalik peristiwa Rapat Raksasa di Lapangan Ikada, Jakarta, yang terjadi pada tanggal 19 September 1945. Diantara ratusan ribu massa yang mendatangi lapangan tersebut tampak sesosok pria memakai topi perkebunan berjalan berdampingan dengan Presiden Soekarno, sosok tersebut diyakini Harry A. Poeze berdasarkan ciri-ciri yang telah ia teliti selama bertahun-tahun. Harry A. Poeze mengatakan “Tan memakai topi perkebunan sejak di Filipina (1925-1927), membawa dua setel pakaian dan memiliki tinggi 165 cm.

Pemimpin Komunis

Sebagai pemimpin komunis, pergulatan Tan sangatlah berpengaruh dalam komunisme internasional. Ia tak hanya mempunyai hak untuk memberi usul dan kritik, tapi juga hak untuk memberi veto atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan juga memberi pengawasan agar anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern, seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa, diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian, tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.

Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda, ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat di pundaknya. Tan dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.

Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia yang justru berakibat buruk bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Sehingga, dengan mudah dan dalam waktu singkat, pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya dan menangkap ribuan pejuang politik. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh, dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka, perjuangan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.

Tan yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927, Tan memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya, Tan memang telah menulis “Menuju Republik Indonesia”. Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925.

Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya “Tan Malaka Bapak Republik Indonesia” memberi komentar: “Tak ubahnya dari Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah….”

Terima kasih sudah membaca semoga apa yang kita baca hari ini bisa bermanfaat bagi kita semua, sebelum meninggalkan blogger joeshapictures sebaiknya di share dulu, apa yang kita dapat hari ini ada baiknya jika kita membagikan pengetahuan kepada orang lain. Sampai jumpa di artikel selanjutnya . . .

0 Comments